Hakikat Suap dan Korupsi
SESEORANG yang terlibat dalam perbuatan suap – menyuap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.
Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ‘begging’ (mengemis) atau ‘vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ‘a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ‘sedekah’ (alms), ‘blackmail’, atau ‘extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ‘gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).
Suap – menyuap bersama – sama dengan penggelapan dana – dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas – asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).
Kriminalitas terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap – menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).
Bukti Kaluarbiasaan
Secara internasional tindak pidana korupsi dalam jumlah yang signifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat; dapat merusak lembaga dan nilai – nilai demokrasi, nilai – nilai etika, dan keadilan; bersifat diskriminatif dan merongrong etika dan kompetisi bisnis yang jujur; mencederai pembangunan berkelanjutan dan tegaknya hukum.
Selanjutnya secara empiris terbukti bahwa kemungkinan keterkaitan antara korupsi dan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan orang, penyelundupan migran gelap dan lain – lain) dan kejahatan ekonomi termasuk tindak pidana pencucian uang, yang menempatkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan yang menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci (predicate crime).
Tindak pidana korupsi kelas kakap berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara dalam jumlah besar sehingga dapat mengganggu dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat trans nasional, contohnya adalah apa yang dinamakan commercial corruption, yaitu penyuapan oleh perusahaan – perusahaan multinasional kepada pejabat – pejabat negara berkembang.
Korupsi juga diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia (human security) karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi – fungsi pelayanan sosial lain.
Dalam kerangka penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun transnasional, korupsi jelas – jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak segan – segan melanggar code of conduct sebagai aparatur negara.
Dengan demikian, tampak bahwa elemen tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam suap – menyuap yang merupakan hal yang tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan privilese atas dasar imbalan keuntungan finansial dan lain – lain, pelanggaran kepercayaan yang merupakan elemen demokrasi, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi, bahaya terhadap human security, dan sebagainya.
Agenda Reformasi
Reformasi (reform movement) harus ditafsirkan sebagai upaya sistematik untuk mengaktualisasikan nilai – nilai dasar (indexs) demokrasi. Menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN merupakan salah satu agenda reformasi di samping amandemen UUD 1945, promosi dan perlindungan HAM, penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil, penguatan civil society, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers, desentralisasi (otonomi daerah), supremasi sipil, dan lain – lainnya.
Pelbagai substansi hukum (legal substance) telah dibangun untuk memberantas KKN dan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti Tap MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan baru – baru ini Indonesia turut menandatangani (belum meratifikasi) UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003. Dalam konvensi ini ada empat hal yang menonjol, yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalitas yang lebih luas, kerja sama internasional, dan pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan aset yang dilarikan keluar negeri.
Dengan kemajuan yang relatif cukup signifikan dibidang substansi dan struktur hukum diatas, maka bilamana masyarakat belum puas terhadap pemberantasan KKN termasuk suap – menyuap, persoalannya cenderung berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) dan kualitas moral sumber daya manusiannya, berupa pandangan, sikap, persepsi, perilaku, dan bahkan falsafah dari para anggota masyarakat yang kontraproduktif. Lebih – lebih budaya hukum dari yang terlibat dalam penegakan hukum (legal culture of the insider) yang belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan semangat reformasi.
Hukum Nasional
Walaupun korupsi, termasuk suap – menyuap, dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, dalam beberapa hal tindak pidana suap juga dikriminalisasikan sebagai lex specialis, misalnya suap – menyuap yang terjadi dilingkunganp perbankan, yang berkaitan dengan pemilihan umum, dan suap yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap secara mendasar sudah dilakukan melalui Pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri. Pasangan dari pasal ini adalah Pasal 419 KUHP yang mengatur tentang penyuapan pasif (pasive omkooping atau passive bribery), yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji tersebut diatas.
Selanjutnya Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasehat di pengadilan. Hakim dan penasehat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 KUHP.
Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.
Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk retour – commissie atau gratifikasi diatur dalam Pasal 418 KUHP. Pasal ini kemudian juga diangkat menjadi tindak pidana korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001); ‘gratifikasi merupakan pemberian hadiah yang luas dan meliputi; pemberian uang, barang, rabat (discounnt), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma – cuma, dan fasilitas lainnya.
Penutup
Suap – menyuap pada khususnya dan KKN yang bersifat luar biasa pada umumnya hanya dapat dicegah dan diberantas dengan cara – cara yang juga luar biasa (extraordinary measures). Yang terpenting adalah rezim kebijakan politik yang tegas; rekrutmen kepemimpinan yang bersih; strategi pencegahan dan penanggulangan yang komprehensif dan sistematis baik preventif, represif, maupun detektif (undercover operation).
Selanjutnya perlu adanya penguatan lembaga hukum (perlindungan saksi, kriminalisasi kejahatan – kejahatan baru seperti memperkaya secara tidak sah / illicin enrichment, sistem pembuktian terbalik; peradilan in absentia; harmonisasi terhadap perkembangan internasional, dan lain – lain); penegakan code of conduct secara tegas, baik di lingkungan publik maupun swasta dan partisipasi aktif segala elemen masyarakat serta peningkatan kesejahteraan pegawai.
Mengingat seringnya dikatakan bahwa sumber atau kesempatan korupsi adalah pemberian monopoli kekuasaan kepada seseorang atau lembaga disertai dengan kewenangan untuk melakukan diskresi secara luas (perpajakan, bea cukai, penegakan hukum, imigrasi), maka harus ada pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap kewenangan monopolistik dan diskresioner tersebut. (KOMPAS, 23 MEI 2005)
Kamis, 17 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar