HIBAH, UMRA DAN RUQBA
Hibah itu dengan kasrah huruf Ha’-nya, masdar dari wahaba, yang berarti pemberian. Hibah itu menurut pengertian agama ialah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup. Dan hibah itu diungkapkan secara umum bagi sesuatu yang dihibahkan dan diungkapkan secara mutlak yang lebih umum dari itu.
Umra ialah pemberian barang kepada seseorang dengan ketentuan apabila yang diberi itu mati lebih dahulu, maka barang itu harus dikembalikan kepada yang memberi. Sebaliknya apabila yang memberi itu mati lebih dahulu, maka barang itu tetap menjadi milik yang diberi.
Ruqba ialah pemberin kepada seseorang hanya untuk selama hidup yang memberi dan yang diberi.
Dari Nu’man bin Basyir r.a. (beliau berkata) : Sesungguhnya ayahnya membawa dia menghadap Rasulullah saw. seraya beliau berkata : Sesungguhnya saya memberikan anakku yang ini seorang budak yang menjadi milik saya. Lalu Rasulullah saw. bertanya : Apakah setiap anakmu kamu berikan seorang budak seperti ini? Beliau menjawab : Tidak, lalu Rasulullah saw bersabda : Ambillah dia kembali. Dan dalam suatu susuan matan : lalu ayahku berangkat menghadap Rasulullah saw. untuk mempersaksikan pemberiannya kepadaku. Lalu beliau bertanya : Apakah kamu lakukan ini terhadap anak – anakmu semuanya? Beliau menjawab : Tidak. Rasulullah saw. bersabda : Bertaqwalah kamu kepada Allah dan berlaku adillah antara anak – anakmu. Lalu ayahku pulang lalu beliau mengambil kembali pemberiannya kepadaku. Muttafaq ‘alaih. Dan dalam suatu riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda : Persaksikanlah pemberianmu ini kepada selain saya. Kemudian beliau bersabda : Apakah menyenangkan hatimu keadaan mereka yang sama – sama berbakti kepadamu? Beliau menjawab : Tentu saja. Beliau bersabda : Kalau begitu jangan kamu berikan kepada seseorang saja.
( Maksudnya : Kalau senang semua anakmu sama – sama berbakti kepadamu, maka jangan pilih kasih dalam pemberianmu terhadap mereka. Berlaku adillah terhadap semua anakmu).
Hadis tersebut sebagai dalil kewajiban perlakuan yang sama antara anak – anak dalam pemberian. Al Bukhari sudah menjelaskannya. Dan demikian pula pendapat Ahmad, Ishaq, Tsauri dan beberapa ulama yang lain, dan sesungguhnya hibah itu batal tanpa pesamaan antara anak – anak itu. Dan itulah yang menurut pengertian susunan kalimat hadist dari perintah Rasulullah saw. untuk mengambil kembali pemberian ayahnya terhadap anaknya. Di antara sabdanya : Bertaqwalah kamu kepada Allah, dan sabdanya : berlaku adillah kamu antara anak – anakmu, dan sabdanya : Kalau begitu jangan kamu berikan kepada seorang saja, dan sabdanya : Saya tidak menjadi saksi atas kecurangan (tetapi ini tidak disebutkan oleh penyusunnya disini).
Rasulullah saw bersabda, Samakan oleh kamu sekalian antara anak – anakmu dalam pemberian. Seandainya kamu melebihkan seseorang, maka kamu lebihkan pemberian kepada anak – anak perempuan. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Al Baihaqi dengan sanad yang bagus.
Ada orang berkata : Penyamaan antara anak – anak itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian wanita.
Menurut pendapat Jumhur ulama : Sesungguhnya penyamaan itu tidak wajib tetapi hanya sunat saja. Mereka panjang lebar mengemukakan alasan untuk mengeritik hadist tersebut. Mereka sebutkan dalam syarah sepuluh alasan yang semuanya tidak berdasarkan dalil. Mengenai masalah ini kami sudah menulis suatu risalah soal jawab dan kami telah menjelaskan dalamnya tentang kuatnya pendapat yang mewajibkan penyamaan pemberian pada anak – anak dan sesungguhnya pemberian tanpa penyamaannya adalah batal.
Dari Ibnu Abbas r.a. beliau bersabda : Nabi saw. bersabda : Orang yang meminta kembali pemberiannya (hibahnya) adalah laksana anjing yang muntah kemudian dia memakan kembali muntahnya itu. Muttafaq ‘alaih. Dalam riwayat Al Bukhari : Tidak ada tamsil yang jelek bagi kami selain orang yang meminta kembali hibahnya, seperti anjing yang muntah kemudian dia memakan kembali muntahnnya itu.
Dalam hadist tersebut terkandung dalil pengharaman / haram meminta kembali hibah (pemberiannya kepada orang lain). Itu menurut pendapat Jumhur Ulama.
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda : Tidak halal bagi seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian dia meminta kembali pemberiannya, selain orang tua dalam suatu pemberian yang dia berikan kepada anaknya. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah (Perawi yang empat, yaitu Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah), dan hadist tersebut dinilai shahih oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al Hakim.
Sesungguhnya : sabdanya “tidak halal” itu jelas menunjukkan pengharaman (haramnya) perbuatan itu. Pendapat yang mengatakan, bahwa itu hanya sindiran tentang sangat makruhya adalah pengalihan dari pengertian tersurat dalam hadist tersebut. Dan sabdanya “selain orang tua” itu sebagai dalil sesungguhnya orang tua (ayah) boleh mengambil kembali sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya, baik anak yang sudah besar maupun yang masih kecil. Ulama Al Hadawiyyah mengkhususkan pemberian terhadap anak yang masih kecil. Akan tetapi, pengecualian itu juga bertentangan dengan zohir hadist. Sebagian ulama membedakan, seraya berkata : Halal meminta kembali hibah, bukan sedekah, karena sesungguhnya maksud sedekah itu adalah pahala di akhirat. Pembedaan itupun tidak mempengaruhi hukum, ibu sama dengan ayah dalam hukum pemberiannya terhadap anaknya, menurut mayoritas ulama. Ya, Al Hadi juga mengkhususkan apa yang dihibahkan oleh isteri kepada suaminya berupa mas kawin (mahar) karena sesungguhnya isteri tidak mempunyai hak memintanya kembali pemberiannya itu. Yang sama dengan hadist tersebut terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari An Nakha’i dan Umar bin Abdul Azis dengan tanpa disebut sanadnya (hadist mu’allaq). Kata Az Zuhri : dikembalikan kepada isterinya bila suaminya menipunya. Abdul Razaq meriwayatkan dengan sanad yang putus selain sahabat dan tabi’in (hadist munqathi’) : bahwa sesungguhnya para isteri memberikan sesuatu kapada suaminya dengan segala senang hati. Siapa saja yang diantara isteri yang memberikan sesuatu kepada suaminya lalu dia mau meminta kembali pemberiannya itu, maka boleh dia meminta kembali.
Dari Aisyah r.a, beliau berkata : Rasulullah saw. biasa menerima hadiah dan beliau membalasnya. Diriwayatkan oleh Al Bukhari.
Dalam hadist tersebut terkandung petunjuk bahwa kebiasaan Rasulullah saw. yang sudah berjalan menerima hadiah dan membalas hadiah orang terhadapnya. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah : “Bahwa Rasulullah saw. membalas pemberian orang dengan yang lebih baik dari pemberian orang terhadapnya”.
Hadist tersebut dijadikan dalil kewajiban membalas hadiah karena kebiasaan Rasululluah saw. yang terus menerus itu menetapkan kewajiban membalas hadiah orang itu. Hanya saja dengan hadist itu tidak dapat sepenuhnya dijadikan dalil atas kewajiban pembalasan hadiah orang sebab menurut kata orang bahwa perbuatan Rasulullah saw. yang terus menerus karena dorongan akhlaknya yang mulia, bukan menunjukkan wajibnya.
Menurut pendapat ulama Al Hadawiyyah : wajib pembalasan hadiah orang sesuai dengan adat yang berlaku. Kata mereka alasan wajibnya itu adalah karena sesungguhnya asal barang pemberian orang itu ada penggantinya / balasannya. Kata pengarang kitab “Al Bahru” wajib pembalasan pemberian itu sesuai dengan adat yang berlaku. Kata imam Yahya : Balasan itu diusahakan yang sama barangnya dan bernilai dan wajib dinasehati demikian itu.
Kata Syafi’i dalam qaul jadidnya (pendapatnya yang baru) : Hibah (pemberian) kepada orang karena mengharapkan balasan adalah batal, tidak sah, karena hibah itu statusnya adalah sebagai derma saja. Seandainya kita wajibkan, maka sungguh itu menjadi Mu’a-wadlah (pemberian yang minta diganti).
Syari’at Islam adat kebiasaan membedakan antara hibah dan jual beli. Apa saja yang harus ada penggantinnya diungkapkan secara mutlak oleh kata “jual – beli” Berbeda halnya hibah, karena hibah itu adalah pemberian tanpa mengharapkan ganti dari yang diberi. Ada orang berkata : Bahwa seakan – akan orang yang membolehkan pembalasan hibah itu, menjadikan kebiasaan dalam hibah itu sama dengan syarat, yaitu pembalasannya dengan yang sama.
Kata sebagian ulama Malikiah : Wajib pembalasan hibah itu, apabila pemberi hibah mengungkapkannya secara umum atau apabila hibah itu dari orang miskin kepada orang kaya. Lain halnya dengan pemberian orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah, maka tidak wajib dibalas. (misalnya dari majikan kepada buruh atau pembantu, dari orang kaya kepada orang miskin, dari kepala kantor kepada bawahannya dan sebagainya).
Apabila orang yang memberi tidak senang terhadap balasan itu, maka menurut kata orang, bahwa hibah tetap berlaku bilamana pihak yang diberi membalasnya dengan harga yang sesuai dengan hibah itu. Ada orang yang berkata hibah itu tidak harus, kecuali dia setuju atau senang. Pendapat pertama lebih terkenal dari imam Malik. Semoga beliau mendapat kasih sayang Allah. Akan tetapi, pendapat itu dibantah oleh hadist berikut ini :
Dari Ibnu Abbas r.a beliau berkata : Seorang lelaki memberikan Rasulullah saw. seekor unta, lalu beliau membalasnya, seraya beliau bertanya : Apakah kamu senang? Dia menjawab : Tidak. Lalu beliau menambahnya lagi seraya bertanya : Apakah kamu sudah senang? Dia menjawab : Tidak. Lalu beliau tambah lagi seraya bertanya : Apakah kamu sudah senang? Dia menjawab : Ya. Diriwayatkan oleh Ahmad dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.
Hadist itu diriwayatkan pula oleh At Tirmidzi dan beliau menjelaskan bahwa gantinya / balasannya adalah enam ekor sapi betina. Dalam hadist tersebut terkandung dalil adanya pensyaratan senang pihak pemberi dan menunjukkan bahwa apabila sudah diserahkan balasan sesuai dengan yang diberi, tetapi ternyata pihak pemberi belum senang, maka ditambahkan lagi baginya. Hadist itu pula menjadi dalil bagi salah satu dari dua pendapat yang lalu dan itu adalah pendapat Ibnu Umar. Apabila disyaratkan senang dalam jual beli, maka tidak ada jual beli yang sah.
Sudah dibicarakan sebelumnya bahwa menarik kembali hibah adalah haram dan sesungguhnya itulah yang paling kuat dalilnya, kecuali suatu pemberian yang dikecualikan. Kata At Thabari. Ditakhsiskan dari keumuman hadist ini, orang yang memberikan sesuatu kepada orang dengan syarat balas dan apabila pemberinya itu adalah orang tua kepada anaknya dan hibah yang belum diterima oleh pihak yang diberi serta harta pusaka yang ditolak oleh ahli waris, karena memang ada pengecualiannya.
Di antara pemberian yang tidak boleh diminta kembali secara mutlak ialah sedekah yang diharapkan pahala di akhirat kelak. Menurut saya : Ini tentang penarikan kembali hibah. Mengenai pembeliannya dan sesuai dengan maksud hadist ini, maka menurut zohirnya bahwa larangan pembeliannya itu hanya untuk penyucian. Yang haram itu hanyalah permintaannya kembali. Mungkin juga tidak ada perbedaan antara keduannya, sama – sama larangan yang pada dasarnya untuk mengharamkan (menunjukan haram).
Dari Abu Harairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda : Saling berhadiah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang bagus.
Al Baihaqi dan lainnya juga meriwayatkan hadist tersebut, tetapi dalam setiap riwayatnya benyak kritikan orang; Sedang penyusunannya sudah menilai hasan sanadnya (hadist hasan); seakan – akan beliau menilainya hasan itu karena banyak penguatnya. Di antaranya hadist berikut ini, sekalipun lemah.
Dari Anas r.a beliau berkata : Rasulullah saw. bersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian, karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian. Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang lemah.
Kelemahannya itu adalah karena di antara para perawinya ada orang yang lemah. Hadist tersebut mempunyai beberapa sanad yang seluruhnya tidak ada yang sepi dari kritik. Dalam suatu matan lain : Bahwa hadiah itu akan menghilangkan rasa dendam. Hadist – hadist tersebut sekalipun tidak sepi dari kritikan orang, maka sesungguhnya hadiah itu jelas mempunyai fungsi bagi perbaikan perasaan hati.
Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata : Rasulullah saw. bersabda : Wahai para wanita muslimat, janganlah sekali – kali tetangga merendahkan tetangganya (dalam pemberian) walaupun hanya kuku kambing. Muttafaq’alaih.
Maksud sebutan kata itu untuk menunjukkan sangatnya anjuran hadiah tetangga kepada tetangganya, bukan kuku yang sebenarnya, karena belum ada kebiasaan hadiah kuku kambing itu. Menurut zohirnya, larangan terhadap orang yang memberi hadiah (isim Fa’il) dari menganggap remeh apa yang dihadiahkan sehingga mengakibatkan tidak mau memberi hadiah. Mungkin juga larangan itu ditujukan kepada orang yang diberi hadiah. Dan maksudnya : Jangan sekali – kali merendahkan sesuatu yang dihadiahkan oleh orang, sekalipun yang diberikan itu rendah nilainya. Mungkin juga maksudnya adalah semua pihak. Dan dalam hadist tersebut terkandung anjuran untuk saling memberi hadiah, terutama antara tetangga, walaupun sesuatu yang rendah nilainya, karena cara itu dapat memupuk rasa cinta kasih.
Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi saw. beliau bersabda : Barang siapa yang memberikan suatu pemberian, maka dialah yang paling berhak dengan pemberiannnya selama belum dibalas pemberiannnya itu. Diriwayatkan oleh Al Hakim dan beliau menilainya shahih dan yang mahfuzh itu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Umar ialah perkataannya .
Kata penyusunnya : Bahwa hadist tersebut dinilai shahih oleh Al Hakim dan Ibnu Hazm. Dalam hadist tersebut terkandung dalil tentang kebolehan tarik kembali pemberian yang belum dibalas, dan tidak boleh minta kembali pemberian yang sudah dibalas oleh orang yang diberi.
Sudah lebih dahulu pembicaraan tentang itu, tentang hukum hibah yang dibalas dan dihadiahi barang yang sama. Alangkah baiknya kata orang tentang masalah itu : bahwa sesungguhnya orang yang berbuat itu tidak berbuat kecuali untuk mencapai suatu tujuan. Pemberian kepada orang yang paling rendah, banyak sekali terjadi sepertis sedekah; dan sedekah itu mempunyai tujuan penting. Pemberian kepada orang yang setingkat adalah merupakan suatu usaha pemupukan hubungan yang baik, karena dapat menimbulkan saling mencintai, dan kebaikan hubungan kekeluargaan. Jadi saling memberi antara orang yang setingkat status sosialnya hampir sama dengan pemberian kepada orang rendah status sosialnya. Hanya saja pemberian kepada orang rendah tingkatannya itu disebut sedekah. Adat kebiasaan dalam masyarakat itu sudah berjalan saling tukar hadiah antara pemberi dan yang diberi.
Apabila tujuan pemberian itu adalah ketamakan dan untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak sebagaimana pemberian pengusaha kepada penguasa, maka tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang dia berikan itu. Seandainya penguasa itu hanya membalas sesuai dengan niali pemberian orang kepadanya, maka pasti dia dicemoohkan oleh orang yang memberi itu. Adanya cemoohan itu sebagai bukti orang itu ingin mendapatkan balasan pemberiannya dengan yang sama, atau dengan pemberian yang lebih baik dari pemberiannya.
Jika tujuan orang yang memberi itu adalah agar terjadi hubungan yang baik antara keduanya dan untuk saling berakhlak yang baik, serta perbaikan hubungan antara kedua belah pihak yang bermusuhan maka sudah cukup baik. Di antara saling balas adalah pemberian sesuatu yang rendah nilainya, sedikit atau banyak. Bahkan yang paling sedikit paling cocok menurut perasaannya, karena tujuannya bukan untuk mencari perbedaan dan pertentangan, tetapi pemantapan rasa cinta kasih dan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara apa yang kamu miliki dengan apa yang saya miliki.
(Dinukil dari Buku ‘ Terjemahan SUBULUSSALAM III ’, Drs. Abubakar Muhammad, Penerbit Al Ikhlas-Surabaya, Cetakan I, 1995, Hal 319 – 336)