Kamis, 17 Januari 2008

Learning Forum bersama
AA Gym
Jakarta, 16 September 2004


  • Nikmat dari Tuhan hanya bisa dirasakan sedikit dan sebentar. Kalau terlalu banyak sudah tidak terasa lagi nikmatnya. Contohnya: Makan es krim hanya enak kalau satu gelas… kalau satu drum?...
  • Nikmat dari Tuhan akan terasa lama apabila kita selalu bersyukur
    Orang yang selalu bersyukur, akan selalu merasakan nikmat Tuhan dan akan selalu merasa bahagia
  • Bersyukur itu penting dan mutlak. Tidak bersyukur maka tidak akan bahagia


SYARAT BERSYUKUR

1. Hati tidak merasa memiliki dan tidak merasa dimiliki, karena segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah।


Segala sesuatu yang kita miliki hanyalah titipan Allah semata dan tidak akan abadi
Karena semua hanya titipan Allah, sebaiknya tidak bersikap sombong atas apa yang dimiliki
Orang yang tidak memiliki iman yang kuat biasanya hidupnya sengsara dan mempunyai ciri-ciri: punya banyak menjadi sombong, punya sedikit menjadi minder, melihat orang lain iri hati, mencari rezeki dengan cara yang licik, dan ketakutan kalau kalau apa yang dimilikinya diambil orang lain…
Makin ingin dipuji, makin ingin dihormati, makin ingin dihargai… maka akan makin sering sakit hati
Sikap yang baik adalah tidak menganggap diri lebih tinggi dari orang lain
Apabila ada orang lain yang bersikap sombong dan menghina, kita akan lebih mulia apabila kita menjadi orang yang selalu memaafkan…


2. Apabila diberi nikmat, rajin mengucapkan syukur kepada Allah… Alhamdulillah…Puji Tuhan…

Supaya rajin memuji nama Tuhan, sering-seringlah melihat ke “bawah”
Teori Bubur ayam: apabila nasi sudah menjadi bubur… pikirkanlah “bubur ayam spesial”
Hidup akan bahagia apabila semua masalah yang dihadapi dikembalikan kepada Allah dan tidak dibesar-besarkan
Segala urusan/masalah harus disikapi secara proporsional, Janganlah mempersulit diri dengan pikiran-pikiran yang negatif
Boleh memiliki keinginan tapi tidak boleh tersiksa oleh keinginan tersebut
Hati yang lapang dan banyak bersyukur akan membuat lebih bahagia


3. Orang yang bersyukur adalah orang yang selalu tahu berterima kasih


“Tidak termasuk orang yang bersyukur kepada Allah, kalau tidak tahu berterima kasih kepada makhluk Allah”
Termasuk bersyukur apabila senang membalas kebaikan orang lain. Dan tidak bisa membalas kebaikan orang sebelum mengingat kebaikan orang lain
Sering-seringlah mengingat kebaikan orang dibandingkan mengingat keburukannya

4. Pakailah nikmat yang diperoleh dengan untuk mendekat kepada pemberi nikmat


Cerita tentang tiga orang pengembara yang berkuda pada saat beristirahat kudanya hilang… Raja yang mengetahui kuda mereka hilang mengirimkan kuda yang terbaik lengkap dengan perlengkapannya.
Pengembara X = sibuk menikmati keindahan kuda yang dikirimkan
Pengembara Y = Senang dengan kuda yang diberikan dan berterima kasih kepada Raja
Pengembara Z = Senang dengan kuda yang diberikan, berterima kasih dan menggunakan kuda tersebut untuk medekat kepada Raja
Siapa yang terbaik cara berpikirnya?.... Tentu saja Z। Karena Z mensyukuri nikmat, berterima kasih kepada pemberi nikmat dan menggunakan nikmat yang diterima untuk mendekat kepada pemberi nikmat


Pesan AA Gym…

Ingatlah dan mendekatlah selalu kepada yang menciptakan kita…
Tingkatkanlah selalu keinginan dan kemampuan untuk berbuat baik…sebelum ajal menjemput…
Ingatlah 3 M…
Mulailah dari yang kecil
Mulailah dari diri sendiri
Mulailah dari sekarang

TUNTUNAN BAGI SI PEMBERI

TUNTUNAN BAGI SI PEMBERI
dan SI PENERIMA

Banyak Petunjuk Al-Qur’an maupun hadits bagi mereka yang berpunya dan mau memberi. Tetapi, juga tidak sedikit Al-Qur’an dan hadits yang memberi petunjuk bagi yang butuh atau peminta. Alangkah baiknya jika masing – masing menghayati petunjuk agama, sehingga keduanya dapat menempatkan diri sesuai dengan petunjuk Ilahi.

“Jangan menghardik para peminta," demikian petunjuk Al-Qur’an kepada yang dimintai, baik meminta materi maupun bukan. Sayang, kita tidak mendapatkan informasi dari Al-Qur’an tentang bentuk – bentuk hardikan terlarang itu.

Namun, dari pengalaman pribadi Rasul saw, kita temukan ayat yang menegur beliau hanya karena bermuka masam, serta berpaling ketika seorang buta bernama Abdullah Ibnu Maktum datang meminta pengajaran. Walaupun kedatangannya ketika itu kurang tepat menurut kita karena Nabi saw, sedang mengadakan pertemuan dengan para pemuka masyarakat Quraisy yang masih musyrik (QS 80 : 1-11).

Menyangkut permintaan materi, Nabi mengingatkan yang diminta : “Janganlah menolak permintaan seseorang, walaupun seandainya kamu melihatnya memakai sepasang gelang emas.” Dan agar tidak memberatkan yang dimintai, juga tidak menghilangkan air muka si peminta, Nabi berpesan : “Bersedekahlah meskipun hanya dengan sebiji kurma,” Tapi, ingat! Pemberian jangan disertai dengan yang dapat menyinggung atau menyakitkan hati si penerima (lihat QS 2 : 264).

Di pihak lain, Nabi mengingatkan si peminta : “Siapa yang meminta guna memperkaya apa yang dimilikinya, maka sesungguhnya ia hanya mengumpulkan bara api (neraka).” Sementara itu, Al-Qur’an memuji mereka yang butuh namun enggan meminta : Orang yang tidak tahu, menyangkanya kaya karena harga dirinya menghalangi ia mengulurkan tangan (QS 2 : 273).





Seorang sahabat Nabi yang bernama Tsaubân, mendapat jaminan surga karena berjanji tidak akan mengulurkan tangan begaimanapun keadaan yang sedang dihadapinya. Sabda Nabi “tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan yang dibawah (peminta)”, bukan hanya ditujukan kepada orang yang berpunya agar memberi, tetapi juga kepada yang butuh supaya enggan meminta.

Imam Ahmad Ibn Hanbal ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan meminta “Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun siang,” demikian jawaban pakar hukum dan hadits ini. Dari sini diketahui bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi – bila ia Muslim yang baik lagi mengerti, benar – benar adalah dia yang sangat membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Qur’an berpesan, jika ada orang yang meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80 : 8 – 10). Dan dalam konteks ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.

Ketika Umar r.a diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak : “Berikanlah kepada yang lebih miskin.”

“Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti pemberiannya,” demikian pesan Nabi.

“Demi tuhan yang jiwaku ada di tangan – nya, aku tidak pernah akan meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi,” demikian Umar r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasâi).

Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu di hayati oleh setiap orang agar tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.

(Dinukil dari buku ‘LENTERA HATI, Kisah dan Hikmah Kehidupan’, M. Quraish Shihab, Mizan, 1994, Hal 194 - 196)

HIBAH, UMRA DAN RUQBA

HIBAH, UMRA DAN RUQBA

Hibah itu dengan kasrah huruf Ha’-nya, masdar dari wahaba, yang berarti pemberian. Hibah itu menurut pengertian agama ialah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup. Dan hibah itu diungkapkan secara umum bagi sesuatu yang dihibahkan dan diungkapkan secara mutlak yang lebih umum dari itu.

Umra ialah pemberian barang kepada seseorang dengan ketentuan apabila yang diberi itu mati lebih dahulu, maka barang itu harus dikembalikan kepada yang memberi. Sebaliknya apabila yang memberi itu mati lebih dahulu, maka barang itu tetap menjadi milik yang diberi.

Ruqba ialah pemberin kepada seseorang hanya untuk selama hidup yang memberi dan yang diberi.

Dari Nu’man bin Basyir r.a. (beliau berkata) : Sesungguhnya ayahnya membawa dia menghadap Rasulullah saw. seraya beliau berkata : Sesungguhnya saya memberikan anakku yang ini seorang budak yang menjadi milik saya. Lalu Rasulullah saw. bertanya : Apakah setiap anakmu kamu berikan seorang budak seperti ini? Beliau menjawab : Tidak, lalu Rasulullah saw bersabda : Ambillah dia kembali. Dan dalam suatu susuan matan : lalu ayahku berangkat menghadap Rasulullah saw. untuk mempersaksikan pemberiannya kepadaku. Lalu beliau bertanya : Apakah kamu lakukan ini terhadap anak – anakmu semuanya? Beliau menjawab : Tidak. Rasulullah saw. bersabda : Bertaqwalah kamu kepada Allah dan berlaku adillah antara anak – anakmu. Lalu ayahku pulang lalu beliau mengambil kembali pemberiannya kepadaku. Muttafaq ‘alaih. Dan dalam suatu riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda : Persaksikanlah pemberianmu ini kepada selain saya. Kemudian beliau bersabda : Apakah menyenangkan hatimu keadaan mereka yang sama – sama berbakti kepadamu? Beliau menjawab : Tentu saja. Beliau bersabda : Kalau begitu jangan kamu berikan kepada seseorang saja.
( Maksudnya : Kalau senang semua anakmu sama – sama berbakti kepadamu, maka jangan pilih kasih dalam pemberianmu terhadap mereka. Berlaku adillah terhadap semua anakmu).



Hadis tersebut sebagai dalil kewajiban perlakuan yang sama antara anak – anak dalam pemberian. Al Bukhari sudah menjelaskannya. Dan demikian pula pendapat Ahmad, Ishaq, Tsauri dan beberapa ulama yang lain, dan sesungguhnya hibah itu batal tanpa pesamaan antara anak – anak itu. Dan itulah yang menurut pengertian susunan kalimat hadist dari perintah Rasulullah saw. untuk mengambil kembali pemberian ayahnya terhadap anaknya. Di antara sabdanya : Bertaqwalah kamu kepada Allah, dan sabdanya : berlaku adillah kamu antara anak – anakmu, dan sabdanya : Kalau begitu jangan kamu berikan kepada seorang saja, dan sabdanya : Saya tidak menjadi saksi atas kecurangan (tetapi ini tidak disebutkan oleh penyusunnya disini).

Rasulullah saw bersabda, Samakan oleh kamu sekalian antara anak – anakmu dalam pemberian. Seandainya kamu melebihkan seseorang, maka kamu lebihkan pemberian kepada anak – anak perempuan. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Al Baihaqi dengan sanad yang bagus.

Ada orang berkata : Penyamaan antara anak – anak itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian wanita.

Menurut pendapat Jumhur ulama : Sesungguhnya penyamaan itu tidak wajib tetapi hanya sunat saja. Mereka panjang lebar mengemukakan alasan untuk mengeritik hadist tersebut. Mereka sebutkan dalam syarah sepuluh alasan yang semuanya tidak berdasarkan dalil. Mengenai masalah ini kami sudah menulis suatu risalah soal jawab dan kami telah menjelaskan dalamnya tentang kuatnya pendapat yang mewajibkan penyamaan pemberian pada anak – anak dan sesungguhnya pemberian tanpa penyamaannya adalah batal.

Dari Ibnu Abbas r.a. beliau bersabda : Nabi saw. bersabda : Orang yang meminta kembali pemberiannya (hibahnya) adalah laksana anjing yang muntah kemudian dia memakan kembali muntahnya itu. Muttafaq ‘alaih. Dalam riwayat Al Bukhari : Tidak ada tamsil yang jelek bagi kami selain orang yang meminta kembali hibahnya, seperti anjing yang muntah kemudian dia memakan kembali muntahnnya itu.




Dalam hadist tersebut terkandung dalil pengharaman / haram meminta kembali hibah (pemberiannya kepada orang lain). Itu menurut pendapat Jumhur Ulama.

Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda : Tidak halal bagi seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian dia meminta kembali pemberiannya, selain orang tua dalam suatu pemberian yang dia berikan kepada anaknya. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah (Perawi yang empat, yaitu Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah), dan hadist tersebut dinilai shahih oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al Hakim.

Sesungguhnya : sabdanya “tidak halal” itu jelas menunjukkan pengharaman (haramnya) perbuatan itu. Pendapat yang mengatakan, bahwa itu hanya sindiran tentang sangat makruhya adalah pengalihan dari pengertian tersurat dalam hadist tersebut. Dan sabdanya “selain orang tua” itu sebagai dalil sesungguhnya orang tua (ayah) boleh mengambil kembali sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya, baik anak yang sudah besar maupun yang masih kecil. Ulama Al Hadawiyyah mengkhususkan pemberian terhadap anak yang masih kecil. Akan tetapi, pengecualian itu juga bertentangan dengan zohir hadist. Sebagian ulama membedakan, seraya berkata : Halal meminta kembali hibah, bukan sedekah, karena sesungguhnya maksud sedekah itu adalah pahala di akhirat. Pembedaan itupun tidak mempengaruhi hukum, ibu sama dengan ayah dalam hukum pemberiannya terhadap anaknya, menurut mayoritas ulama. Ya, Al Hadi juga mengkhususkan apa yang dihibahkan oleh isteri kepada suaminya berupa mas kawin (mahar) karena sesungguhnya isteri tidak mempunyai hak memintanya kembali pemberiannya itu. Yang sama dengan hadist tersebut terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari An Nakha’i dan Umar bin Abdul Azis dengan tanpa disebut sanadnya (hadist mu’allaq). Kata Az Zuhri : dikembalikan kepada isterinya bila suaminya menipunya. Abdul Razaq meriwayatkan dengan sanad yang putus selain sahabat dan tabi’in (hadist munqathi’) : bahwa sesungguhnya para isteri memberikan sesuatu kapada suaminya dengan segala senang hati. Siapa saja yang diantara isteri yang memberikan sesuatu kepada suaminya lalu dia mau meminta kembali pemberiannya itu, maka boleh dia meminta kembali.




Dari Aisyah r.a, beliau berkata : Rasulullah saw. biasa menerima hadiah dan beliau membalasnya. Diriwayatkan oleh Al Bukhari.

Dalam hadist tersebut terkandung petunjuk bahwa kebiasaan Rasulullah saw. yang sudah berjalan menerima hadiah dan membalas hadiah orang terhadapnya. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah : “Bahwa Rasulullah saw. membalas pemberian orang dengan yang lebih baik dari pemberian orang terhadapnya”.

Hadist tersebut dijadikan dalil kewajiban membalas hadiah karena kebiasaan Rasululluah saw. yang terus menerus itu menetapkan kewajiban membalas hadiah orang itu. Hanya saja dengan hadist itu tidak dapat sepenuhnya dijadikan dalil atas kewajiban pembalasan hadiah orang sebab menurut kata orang bahwa perbuatan Rasulullah saw. yang terus menerus karena dorongan akhlaknya yang mulia, bukan menunjukkan wajibnya.

Menurut pendapat ulama Al Hadawiyyah : wajib pembalasan hadiah orang sesuai dengan adat yang berlaku. Kata mereka alasan wajibnya itu adalah karena sesungguhnya asal barang pemberian orang itu ada penggantinya / balasannya. Kata pengarang kitab “Al Bahru” wajib pembalasan pemberian itu sesuai dengan adat yang berlaku. Kata imam Yahya : Balasan itu diusahakan yang sama barangnya dan bernilai dan wajib dinasehati demikian itu.

Kata Syafi’i dalam qaul jadidnya (pendapatnya yang baru) : Hibah (pemberian) kepada orang karena mengharapkan balasan adalah batal, tidak sah, karena hibah itu statusnya adalah sebagai derma saja. Seandainya kita wajibkan, maka sungguh itu menjadi Mu’a-wadlah (pemberian yang minta diganti).

Syari’at Islam adat kebiasaan membedakan antara hibah dan jual beli. Apa saja yang harus ada penggantinnya diungkapkan secara mutlak oleh kata “jual – beli” Berbeda halnya hibah, karena hibah itu adalah pemberian tanpa mengharapkan ganti dari yang diberi. Ada orang berkata : Bahwa seakan – akan orang yang membolehkan pembalasan hibah itu, menjadikan kebiasaan dalam hibah itu sama dengan syarat, yaitu pembalasannya dengan yang sama.



Kata sebagian ulama Malikiah : Wajib pembalasan hibah itu, apabila pemberi hibah mengungkapkannya secara umum atau apabila hibah itu dari orang miskin kepada orang kaya. Lain halnya dengan pemberian orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah, maka tidak wajib dibalas. (misalnya dari majikan kepada buruh atau pembantu, dari orang kaya kepada orang miskin, dari kepala kantor kepada bawahannya dan sebagainya).

Apabila orang yang memberi tidak senang terhadap balasan itu, maka menurut kata orang, bahwa hibah tetap berlaku bilamana pihak yang diberi membalasnya dengan harga yang sesuai dengan hibah itu. Ada orang yang berkata hibah itu tidak harus, kecuali dia setuju atau senang. Pendapat pertama lebih terkenal dari imam Malik. Semoga beliau mendapat kasih sayang Allah. Akan tetapi, pendapat itu dibantah oleh hadist berikut ini :

Dari Ibnu Abbas r.a beliau berkata : Seorang lelaki memberikan Rasulullah saw. seekor unta, lalu beliau membalasnya, seraya beliau bertanya : Apakah kamu senang? Dia menjawab : Tidak. Lalu beliau menambahnya lagi seraya bertanya : Apakah kamu sudah senang? Dia menjawab : Tidak. Lalu beliau tambah lagi seraya bertanya : Apakah kamu sudah senang? Dia menjawab : Ya. Diriwayatkan oleh Ahmad dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.

Hadist itu diriwayatkan pula oleh At Tirmidzi dan beliau menjelaskan bahwa gantinya / balasannya adalah enam ekor sapi betina. Dalam hadist tersebut terkandung dalil adanya pensyaratan senang pihak pemberi dan menunjukkan bahwa apabila sudah diserahkan balasan sesuai dengan yang diberi, tetapi ternyata pihak pemberi belum senang, maka ditambahkan lagi baginya. Hadist itu pula menjadi dalil bagi salah satu dari dua pendapat yang lalu dan itu adalah pendapat Ibnu Umar. Apabila disyaratkan senang dalam jual beli, maka tidak ada jual beli yang sah.

Sudah dibicarakan sebelumnya bahwa menarik kembali hibah adalah haram dan sesungguhnya itulah yang paling kuat dalilnya, kecuali suatu pemberian yang dikecualikan. Kata At Thabari. Ditakhsiskan dari keumuman hadist ini, orang yang memberikan sesuatu kepada orang dengan syarat balas dan apabila pemberinya itu adalah orang tua kepada anaknya dan hibah yang belum diterima oleh pihak yang diberi serta harta pusaka yang ditolak oleh ahli waris, karena memang ada pengecualiannya.

Di antara pemberian yang tidak boleh diminta kembali secara mutlak ialah sedekah yang diharapkan pahala di akhirat kelak. Menurut saya : Ini tentang penarikan kembali hibah. Mengenai pembeliannya dan sesuai dengan maksud hadist ini, maka menurut zohirnya bahwa larangan pembeliannya itu hanya untuk penyucian. Yang haram itu hanyalah permintaannya kembali. Mungkin juga tidak ada perbedaan antara keduannya, sama – sama larangan yang pada dasarnya untuk mengharamkan (menunjukan haram).

Dari Abu Harairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda : Saling berhadiah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang bagus.

Al Baihaqi dan lainnya juga meriwayatkan hadist tersebut, tetapi dalam setiap riwayatnya benyak kritikan orang; Sedang penyusunannya sudah menilai hasan sanadnya (hadist hasan); seakan – akan beliau menilainya hasan itu karena banyak penguatnya. Di antaranya hadist berikut ini, sekalipun lemah.

Dari Anas r.a beliau berkata : Rasulullah saw. bersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian, karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian. Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang lemah.

Kelemahannya itu adalah karena di antara para perawinya ada orang yang lemah. Hadist tersebut mempunyai beberapa sanad yang seluruhnya tidak ada yang sepi dari kritik. Dalam suatu matan lain : Bahwa hadiah itu akan menghilangkan rasa dendam. Hadist – hadist tersebut sekalipun tidak sepi dari kritikan orang, maka sesungguhnya hadiah itu jelas mempunyai fungsi bagi perbaikan perasaan hati.

Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata : Rasulullah saw. bersabda : Wahai para wanita muslimat, janganlah sekali – kali tetangga merendahkan tetangganya (dalam pemberian) walaupun hanya kuku kambing. Muttafaq’alaih.




Maksud sebutan kata itu untuk menunjukkan sangatnya anjuran hadiah tetangga kepada tetangganya, bukan kuku yang sebenarnya, karena belum ada kebiasaan hadiah kuku kambing itu. Menurut zohirnya, larangan terhadap orang yang memberi hadiah (isim Fa’il) dari menganggap remeh apa yang dihadiahkan sehingga mengakibatkan tidak mau memberi hadiah. Mungkin juga larangan itu ditujukan kepada orang yang diberi hadiah. Dan maksudnya : Jangan sekali – kali merendahkan sesuatu yang dihadiahkan oleh orang, sekalipun yang diberikan itu rendah nilainya. Mungkin juga maksudnya adalah semua pihak. Dan dalam hadist tersebut terkandung anjuran untuk saling memberi hadiah, terutama antara tetangga, walaupun sesuatu yang rendah nilainya, karena cara itu dapat memupuk rasa cinta kasih.

Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi saw. beliau bersabda : Barang siapa yang memberikan suatu pemberian, maka dialah yang paling berhak dengan pemberiannnya selama belum dibalas pemberiannnya itu. Diriwayatkan oleh Al Hakim dan beliau menilainya shahih dan yang mahfuzh itu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Umar ialah perkataannya .

Kata penyusunnya : Bahwa hadist tersebut dinilai shahih oleh Al Hakim dan Ibnu Hazm. Dalam hadist tersebut terkandung dalil tentang kebolehan tarik kembali pemberian yang belum dibalas, dan tidak boleh minta kembali pemberian yang sudah dibalas oleh orang yang diberi.

Sudah lebih dahulu pembicaraan tentang itu, tentang hukum hibah yang dibalas dan dihadiahi barang yang sama. Alangkah baiknya kata orang tentang masalah itu : bahwa sesungguhnya orang yang berbuat itu tidak berbuat kecuali untuk mencapai suatu tujuan. Pemberian kepada orang yang paling rendah, banyak sekali terjadi sepertis sedekah; dan sedekah itu mempunyai tujuan penting. Pemberian kepada orang yang setingkat adalah merupakan suatu usaha pemupukan hubungan yang baik, karena dapat menimbulkan saling mencintai, dan kebaikan hubungan kekeluargaan. Jadi saling memberi antara orang yang setingkat status sosialnya hampir sama dengan pemberian kepada orang rendah status sosialnya. Hanya saja pemberian kepada orang rendah tingkatannya itu disebut sedekah. Adat kebiasaan dalam masyarakat itu sudah berjalan saling tukar hadiah antara pemberi dan yang diberi.



Apabila tujuan pemberian itu adalah ketamakan dan untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak sebagaimana pemberian pengusaha kepada penguasa, maka tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang dia berikan itu. Seandainya penguasa itu hanya membalas sesuai dengan niali pemberian orang kepadanya, maka pasti dia dicemoohkan oleh orang yang memberi itu. Adanya cemoohan itu sebagai bukti orang itu ingin mendapatkan balasan pemberiannya dengan yang sama, atau dengan pemberian yang lebih baik dari pemberiannya.

Jika tujuan orang yang memberi itu adalah agar terjadi hubungan yang baik antara keduanya dan untuk saling berakhlak yang baik, serta perbaikan hubungan antara kedua belah pihak yang bermusuhan maka sudah cukup baik. Di antara saling balas adalah pemberian sesuatu yang rendah nilainya, sedikit atau banyak. Bahkan yang paling sedikit paling cocok menurut perasaannya, karena tujuannya bukan untuk mencari perbedaan dan pertentangan, tetapi pemantapan rasa cinta kasih dan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara apa yang kamu miliki dengan apa yang saya miliki.


(Dinukil dari Buku ‘ Terjemahan SUBULUSSALAM III ’, Drs. Abubakar Muhammad, Penerbit Al Ikhlas-Surabaya, Cetakan I, 1995, Hal 319 – 336)

Hakikat Suap dan Korupsi

Hakikat Suap dan Korupsi

SESEORANG yang terlibat dalam perbuatan suap – menyuap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.

Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ‘begging’ (mengemis) atau ‘vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ‘a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ‘sedekah’ (alms), ‘blackmail’, atau ‘extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ‘gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).
Suap – menyuap bersama – sama dengan penggelapan dana – dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas – asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).
Kriminalitas terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap – menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).





Bukti Kaluarbiasaan

Secara internasional tindak pidana korupsi dalam jumlah yang signifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat; dapat merusak lembaga dan nilai – nilai demokrasi, nilai – nilai etika, dan keadilan; bersifat diskriminatif dan merongrong etika dan kompetisi bisnis yang jujur; mencederai pembangunan berkelanjutan dan tegaknya hukum.
Selanjutnya secara empiris terbukti bahwa kemungkinan keterkaitan antara korupsi dan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan orang, penyelundupan migran gelap dan lain – lain) dan kejahatan ekonomi termasuk tindak pidana pencucian uang, yang menempatkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan yang menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci (predicate crime).
Tindak pidana korupsi kelas kakap berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara dalam jumlah besar sehingga dapat mengganggu dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat trans nasional, contohnya adalah apa yang dinamakan commercial corruption, yaitu penyuapan oleh perusahaan – perusahaan multinasional kepada pejabat – pejabat negara berkembang.
Korupsi juga diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia (human security) karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi – fungsi pelayanan sosial lain.
Dalam kerangka penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun transnasional, korupsi jelas – jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak segan – segan melanggar code of conduct sebagai aparatur negara.








Dengan demikian, tampak bahwa elemen tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam suap – menyuap yang merupakan hal yang tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan privilese atas dasar imbalan keuntungan finansial dan lain – lain, pelanggaran kepercayaan yang merupakan elemen demokrasi, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi, bahaya terhadap human security, dan sebagainya.


Agenda Reformasi

Reformasi (reform movement) harus ditafsirkan sebagai upaya sistematik untuk mengaktualisasikan nilai – nilai dasar (indexs) demokrasi. Menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN merupakan salah satu agenda reformasi di samping amandemen UUD 1945, promosi dan perlindungan HAM, penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil, penguatan civil society, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers, desentralisasi (otonomi daerah), supremasi sipil, dan lain – lainnya.
Pelbagai substansi hukum (legal substance) telah dibangun untuk memberantas KKN dan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti Tap MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan baru – baru ini Indonesia turut menandatangani (belum meratifikasi) UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003. Dalam konvensi ini ada empat hal yang menonjol, yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalitas yang lebih luas, kerja sama internasional, dan pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan aset yang dilarikan keluar negeri.



Dengan kemajuan yang relatif cukup signifikan dibidang substansi dan struktur hukum diatas, maka bilamana masyarakat belum puas terhadap pemberantasan KKN termasuk suap – menyuap, persoalannya cenderung berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) dan kualitas moral sumber daya manusiannya, berupa pandangan, sikap, persepsi, perilaku, dan bahkan falsafah dari para anggota masyarakat yang kontraproduktif. Lebih – lebih budaya hukum dari yang terlibat dalam penegakan hukum (legal culture of the insider) yang belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan semangat reformasi.


Hukum Nasional

Walaupun korupsi, termasuk suap – menyuap, dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, dalam beberapa hal tindak pidana suap juga dikriminalisasikan sebagai lex specialis, misalnya suap – menyuap yang terjadi dilingkunganp perbankan, yang berkaitan dengan pemilihan umum, dan suap yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap secara mendasar sudah dilakukan melalui Pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri. Pasangan dari pasal ini adalah Pasal 419 KUHP yang mengatur tentang penyuapan pasif (pasive omkooping atau passive bribery), yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji tersebut diatas.
Selanjutnya Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasehat di pengadilan. Hakim dan penasehat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 KUHP.
Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.



Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk retour – commissie atau gratifikasi diatur dalam Pasal 418 KUHP. Pasal ini kemudian juga diangkat menjadi tindak pidana korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001); ‘gratifikasi merupakan pemberian hadiah yang luas dan meliputi; pemberian uang, barang, rabat (discounnt), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma – cuma, dan fasilitas lainnya.

Penutup

Suap – menyuap pada khususnya dan KKN yang bersifat luar biasa pada umumnya hanya dapat dicegah dan diberantas dengan cara – cara yang juga luar biasa (extraordinary measures). Yang terpenting adalah rezim kebijakan politik yang tegas; rekrutmen kepemimpinan yang bersih; strategi pencegahan dan penanggulangan yang komprehensif dan sistematis baik preventif, represif, maupun detektif (undercover operation).
Selanjutnya perlu adanya penguatan lembaga hukum (perlindungan saksi, kriminalisasi kejahatan – kejahatan baru seperti memperkaya secara tidak sah / illicin enrichment, sistem pembuktian terbalik; peradilan in absentia; harmonisasi terhadap perkembangan internasional, dan lain – lain); penegakan code of conduct secara tegas, baik di lingkungan publik maupun swasta dan partisipasi aktif segala elemen masyarakat serta peningkatan kesejahteraan pegawai.
Mengingat seringnya dikatakan bahwa sumber atau kesempatan korupsi adalah pemberian monopoli kekuasaan kepada seseorang atau lembaga disertai dengan kewenangan untuk melakukan diskresi secara luas (perpajakan, bea cukai, penegakan hukum, imigrasi), maka harus ada pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap kewenangan monopolistik dan diskresioner tersebut. (KOMPAS, 23 MEI 2005)

IHWAL SOGOK MENYOGOK

IHWAL SOGOK MENYOGOK

Agama melarang sogok – menyogok, bahkan mengutuk bukan saja pelaku yang menerima, tetapi juga pemberi dan perantaranya. Banyak sekali teks keagamaan yang menjelaskan tentang masalah ini. Namun apakah yang dimaksud dengan sogok?

Kalau anda mendefinisikannya sebagai “pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak sah”, apakah memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan demikian dapat dibenarkan?

Ambillah contoh sederhana. Anda membutuhkan dan berhak pula memiliki surat keterangan pengenal diri, kenaikan pangkat dalam jenjang kepegawaian atau apa saja yang menjadi hak Anda. Tetapi, petugas yang menanganinya bersikap sedemikian rupa dengan menunda – nundanya sehingga urusan menjadi tersendat – sendat. Ketika itu Anda merasa perlu sesuatu yang melicinkan. Nah, apakah ini dibenarkan?

Sebelum merujuk pandangan para pakar, terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa dalam contoh yang dikemukakan di atas, si petugas dinilai oleh agama telah melakukan sesuatu yanng haram, terlarang, dan terkutuk. Ia dinilai melakukan penganiayaan, walaupun tidak menerima sesuatu. Lebih – lebih jika menerima penundaan pembayaran utang, bagi yang mampu, adalah penganiayaan. Karena Nabi saw. bersabda, bahwa keadilan adalah memberi hak melalui prosedur yang mudah lagi cepat, “Permudahlah jangan persulit”, pesan Nabi. Tetapi tidak jarang ada yang menyatakan dalam sikapnya : “Mengapa harus mempermudah jika ada jalan mempersulit?”

Dalam kitab Subul Al – Salam karya Muhammad bin Isma’il Al – Kahlani (1059-1182 H), demikian pula dalam Nail Al – Authar karya Al – Imam Al – Syaukani (1172-1250 H), dibawah sub judul rasywah (sogok), kedua pengarang tersebut mengemukakan pendapat yang membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Tidak jelas argumentasi mereka, tetapi rupanya keadaan ketika itu mirip dengan keadaan yang kita alami sekarang ini. Tampaknya ketika itu telah menjamur pula budaya sogok – menyogok, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya, maka lahirlah pendapat yang memperbolehkan tadi.


Tetapi, Al – Syaukani setelah mengemukakanpendapat di atas, mengingatkan bahwa pada dasarnya agama tidak membenarkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang kecuali dengan hati yang tulus.
Nah, tuluskah hati yang memberi pelicin itu? Di samping itu, bukankah sikap ini menumbuh suburkan praktek suap – menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi – walau dengan dalih meraih hak yang sah – seseorang telah membantu si penerima melakukan sesuatu yang haram dan terkutuk dan dengan demikian ia memperoleh pula – sedikit atau banyak – sanksi keharaman dan kutukan itu?

Bahkan, hadiah kepada seorang yang berwenang – kecil ataupun besar wewenangnya - apabila sebelumnya ia tidak biasa menerimanya dinilai sebagai sogokan terselubung. Dalam hal ini Nabi bersabda : “tidakkah sebaiknya ia duduk saja dirumah ibunya, untuk dilihat apakah ada yang memberinya hadiah atau tidak”.

Masyarakat melahirkan suatu budaya yang tadinya mungkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang – ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi mungkar bila tidak lagi dilakukan orang.

Sogok – menyogok, tampaknya, adalah mungkar yang telah dianggap ma’ruf. Kalau demikian ini, yang salah adalah kita juga, sehingga secara bersama kita harus memperbaikinya, dan tak perlu menunggu yang lain untuk memulai.

(Dinukil dari buku ‘LENTERA HATI, Kisah dan Hikmah Kehidupan’, M. Quraish Shihab, Mizan, 1994, Hal 295 – 297)